TRAVEL

Etika dalam Bisnis Pariwisata

post-img

Pande K Trimayuni dan Presiden Jokowi (Ist)

PATADaily.id - Tulisan ini dibagi dalam dua bagian. Bagian pertama mengupas persoalan yang sering terjadi dalam bisnis pariwisata, dengan memakai Pulau Bali sebagai contoh kasus utama.

Sementara tulisan kedua membahas rekomendasi dan solusi yang bisa diterapkan.

Minggu ini jagat virtual dihebohkan dengan dua video. Pertama, video turis asing yang bugil di tengah suatu perayaan Hindu di Bali. Belakangan diketahui, ternyata turis asing tersebut mengidap gangguan jiwa dan sudah dipulangkan ke negaranya di Jerman.

Kasus kedua, video satu keluarga turis lokal yang mengambil foto anaknya sedang "duduk bertengger" di atas padmasana (tempat pemujaan Hindu).

Tidak dijelaskan dimana video tersebut diambil. Sang ibu, yang dari busananya dapat diketahui latar belakangnya, terlihat sedang bergaya mengambil gambar untuk anaknya.

Beberapa waktu yang lalu juga beredar video turis asing dan juga orang Indonesia yang menolak ikut memperingati Hari Suci Nyepi.

Fenomena apa ini? Apakah sudah begitu tergerus nilai-nilai etika universal dan juga nilai-nilai adilihung Nusantara sehingga etika yang bersifat dasar saja sulit dilakukan?

Sebagai orang Bali, saya beruntung menjadi "saksi" dinamika wisatawan yang berkunjung ke Bali, baik lokal maupun internasional.

Dekade 80-an yang saya ingat, kunjungan wisatawan ke tempat-tempat wisata, art shop, galeri atau museum biasanya tertib dalam rombongan.

Wisatawan terlihat begitu takzim dan respectful menikmati pemandangan atau karya seni. Bertanya dan berdiskusi jika ada yang kurang jelas. Memang ada yang datang sendiri-sendiri, tetapi lebih banyak rombongan.

Saat itu, kita bisa mengidentifikasi wisatawan dari mana dan yang membawa siapa.

Karakter dan perilaku wisatawan pada masa kini sangat berbeda. Sekarang mereka lebih banyak datang dalam grup kecil atau sendirian, lone wolf. Mereka juga banyak yang tidak hanya bermaksud liburan tetapi juga untuk bekerja.

Ini sejalan dengan perkembangan zaman dimana kini dikenal konsep WFH (Work From Home) dan WFA (Work From Anywhere).

Mereka juga tidak perlu menginap di hotel-hotel yang mapan karena dengan adanya Airb&b misalnya, mereka bisa mencari sendiri penginapan sesuai dengan isi kantung.

Jika tidak ada uang untuk ikut paket tur, bepergian bisa sangat mudah dengan mobil atau motor sewaan.

Turis pengendara motor terutama menjadi masalah saat ini di Bali. Meski tidak bisa mengendarai motor dari negara asalnya, mereka belajar dan langsung kemana-mana.

Tidak ada regulasi yang ketat. Sehingga sering kita lihat prilaku wisatawan yang membahayakan pengendara lain. Jadi ada banyak kemudahan saat ini.

Biaya penerbangan yang semakin terjangkau, kemudahan masuk negara Indonesia, gampangnya mencari informasi dan akomodasi dan kemudahan-kemudahan lain yang disebabkan kemajuan teknologi dan media sosial.

Berbagai kemudahan ini juga disertai dengan kerentanan. Bisnis pariwisata mudah naik dan juga bisa cepat turun.

Bergantung kompleksitas internal dan ekternal faktor. Sangat dipengaruhi oleh image. Kemampuan untuk membentuk persepsi.

Dan nilai sebuah persepsi sangat fluktuatif, bisa sangat tinggi namun kemudian tiba-tiba jadi zero.

Ada isu negatif sedikit bisa nyungsep. Orang mau membayar ribuan dollar untuk sebuah "pengalaman" wisata.

Sebaliknya, wisata yang sebelumnya booming bisa saja tiba-tiba ditinggalkan atau diboikot. Semua tergantung pembentukan persepsi.

Saya paling sering memperhatikan situasi di area bisnis kami di daerah Kuta, Bali. Kami sering membantu beragam kasus terkait wisatawan, kebanyakan memang turis asing.

Mulai dari yang kecelakaan karena ngebut dan mabuk, bule depresi dan mengamuk, perkelahian, dan sebagainya.

Sering juga mendengar bentuk kriminal lain seperti pemalsuan ID card (bikin KTP lokal), atau membuat laporan "seolah-olah" kehilangan barang selama di Bali agar dapat mengklaim asuransi yang mereka beli di negara asalnya.

Turis-turis yang bikin masalah ini rata-rata yang masih berusia muda. Berbeda dengan bule-bule pensiunan yang lebih damai dan memang ingin menikmati suasana.

Ada peluang namun juga disertai dengan masalah-masalah. Wisatawan asing dan dalam negeri, dua-duanya memiliki potensi untuk menimbulkan kericuhan jika tidak ditangani dengan baik dan ada pembenahan.

Apa yang bisa dilakukan? Bagian kedua tulisan ini akan membahas rekomendasi dan solusi yang mungkin untuk dilakukan. (Artikel ini ditulis oleh Pande K Trimayuni Official Representative-Kerjasama anggota SACCHAM (KADIN Amerika Selatan-Karibia) dengan Indonesia, Ketua FOKAL UI)

Artikel Lainnya