Press conference Bhisma Mahawira
Yayasan Alumni SMA 6 Jakarta (YASMA 6) dan Gending Enem kembali memprakarsai pagelaran wayang orang Bhisma Mahawira yang diadakan pada 17 Februari 2019 mulai pukul 15.00-17.00 di Gedung Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki bekerja sama dengan para alumni SMA lainnya yang tidak hanya berasal dari Jakarta bahkan juga dari luar kota Jakarta. Keinginan kuat untuk melestarikan seni budaya Indonesia dituangkan dengan mengangkat wayang orang yang melibatkan lintas angkatan dan profesi serta diharapkan dapat memupuk tali silaturahmi antaralumni SMA di Jakarta dan luar kota Jakarta. Sebelumnya dua tahun lalu tepatnya pada 5 November 2017 lalu, YASMA 6 & Gending Enem sudah mementaskan pagelaran wayang orang Aryo Penangsang dan pada 7 November 2015 silam mementaskan pagelaran Wayang Orang Ramayana Sang Dewi Shinta. Para pemuda sebagai pewaris nilai dan budaya perlu menguatkan jati diri bangsa salah satunya dengan cara mencintai seni budaya Indonesia. Pemahaman mengenai hal ini bisa ditanamkan melalui partisipasi dalam kegiatan seni budaya sejak dini, bahkan secara psikologis juga dapat mengajarkan budi pekerti dan nilai moral yang terkandung dalam budaya. Karenanya Mika, pemain yang baru berusia 12 tahun dan berperan sebagai Bhisma muda sengaja dilibatkan dalam pagelaran ketoprak tari agar lebih mengenal dan memupuk kecintaan akan budaya Indonesia di tengah derasnya budaya asing yang menyerbu serta arus globalisasi. “Bhisma Mahawira” yang disutradarai oleh Nanang Ruswanda, menceritakan perjalanan kehidupan ksatria Bhisma dalam pewayangan, merupakan sebuah kisah keteguhan hati sang pemegang janji abadi di tengah perang terbesar sepanjang masa. Tersebutlah Prabu Sentanu Raja Kerajaan Hastina Pura, berkeinginan meminang Dewi Gangga. Namun Dewi Gangga meminta persyaratan, Prabu Sentanu tidak boleh menghalangi apapun yang diperbuat oleh Dewi Gangga. Sewaktu Dewi Gangga melahirkan putra pertama sampai ketujuh selalu dilarung (dihanyutkan) ke sungai Gangga. Prabu Sentanu merasa sedih dan heran dengan perbuatan istrinya, maka ketika melahirkan putra yang ke delapan yang akan dilarung dicegah oleh Prabu Sentanu. Dewi Gangga yang merasa Prabu Sentanu telah melanggar perjanjian, kembali ke Khayangan dan menyerahkan putranya pada Prabu Sentanu yang kemudian diberi nama Dewabrata. Dewabrata yang masih kecil diberikan kepada Rama Bargawa untuk diajar kesaktian. Di bawah bimbingan Rama Bargawa, Dewabrata tumbuh menjadi pemuda sakti mandraguna. Suatu ketika Prabu Sentanu jatuh sakit karena tidak bisa memenuhi permintaan Dewi Setyowati yang hendak dipersuntingnya. Dewabrata kemudian menemui Dewi Setyowati dan menanyakan permintaannya. Dewi Setyowati bersedia menjadi permaisuri Prabu Sentanu dengan syarat kelak putranya yang menjadi raja di Hastina Pura. Karena Dewabrata menjadi pewaris tunggal kerajaan Hastina Pura maka demi kebahagiaan ayahnya ia bersedia menyerahkan tahta kerajaan kepada Dewi Setyowati dan bersumpah untuk tidak menikah sampai akhir hayat (wadad) dan bergelar Resi Bhisma. Dari perkawinan Prabu Sentanu dan Dewi Setyowati mempunyai 2 putra bernama Citroseno dan Citrogodho. Bhisma kemudian mengikuti sayembara di kerajaan Kasipuro yang memperebutkan tiga putri yang bernama Dewi Amba, Dewi Ambika dan Dewi Ambalika. Dengan kesaktiannya Bhisma dapat memboyong ketiga putri tersebut. Dewi Ambika diperistri Citroseno dan Dewi Ambalika diperistri Citrogodho. Sedangkan Dewi Amba ingin diperistri Bhisma. Karena sumpahnya Bhisma tidak dapat menerima Dewi Amba. Dewi Amba tetap memaksa membuat Bhisma marah dan tanpa sengaja melepaskan anak panahnya mengenai Dewi Amba. Sebelum mati Dewi Amba bersumpah tidak akan naik ke surga kalau tidak bersama Bhisma. Dewi Ambalika melahirkan Destarastra ayah dari Kurawa dan Dewi Ambika melahirkan Pandu ayah dari Pandawa. Kurawa dan Pandawa sama-sama merasa berhak atas kerajaan Hastina Pura yang akhirnya menyebabkan terjadinya peperangan besar yang dinamakan Bharatayudha (perang darah Bharata). Di perang Bharatayudha, Resi Bhisma berada di pihak Kurawa tidak untuk membela Kurawa, tapi membela tanah kelahirannya dan rakyat kecil dari kehancuran. Para Pandawa tidak berani menghadapi Resi Bhisma. Maka Kresna mengangkat Srikandi sebagai Senopati menghadapi Resi Bhisma. Dalam pertempuran, sukma Dewi Amba masuk dalam tubuh Srikandi. Melihat Sukma Amba yang sudah merasuk di dalam Srikandi, Resi Bhisma teringat akan pesan terakhir Dewi Amba. Maka Resi Bhisma rela gugur di medan laga di tangan Srikandi. Kisah Bhisma Mahawira sangat menarik untuk diangkat selain memang bukan cerita yang sering ditampilkan, juga agar masyarakat lebih mudah memahami sejarah dan legenda Indonesia. Siaran per yang diterima patainanews.com pada akhir pekan lalu menulis, tokoh-tokoh yang turut berperan dalam pementasan wayang orang “Bhisma Mahawira” adalah Maudy Koesnaedi sebagai Dewi Amba, Maya Hasan sebagai Dewi Sembodro, Alya Rohali sebagai Dewi Drupadi, Chitra Nartomo sebagai Dewi Kunti, Metta Ariesta sebagai Dewi Srikandi, Elmo S. Hillyawan sebagai Arjuna dan Hendro Prastowo sebagai Resi Bhisma, merupakan nama-nama yang mumpuni dalam bidangnya namun mau meluangkan waktu untuk melestarikan budaya bangsa Indonesia. Dukungan penuh juga diberikan oleh “Wayang Orang Bharata” sebagai salah satu pelopor pertunjukan wayang orang di Indonesia yang bersinergi turun temurun melestarikan budaya. Semoga kiprah para pelaku seni ini dapat memberikan semangat untuk lebih mencintai wayang orang sebagai salah satu seni budaya Indonesia. (Gabriel Bobby)