PATADaily.id - Sekarang lagi viral press release Kemenparekraf tentang pembahasan potensi kolaborasi dengan Grab Indonesia.
Hal tersebut membuat banyak travel agent bingung. "Saya juga bingung," kata Chairman IINTOA Paul Edmundus Talo kepada patadaily.id, Senin (11/1/2021).
"Mengapa viral? Karena itu ide baru. Pelaku pariwisata merasa perlu membagi berita itu kepada WAG, kepada teman-teman melalui WA, instagram, dan media sosial lainnya. Sebagian orang berdiskusi dengan cara mereka masing-masing. Banyak yang berkomentar dengan dugaan-dugaan namun tidak memberikan jawaban karena bingung tadi. Saya juga menduga-duga tujuan Kemenparekraf," paparnya.
Untuk sementara, lanjutnya dugaan Paul adalah Kemenparekraf di dalam menjalankan tugasnya antara lain memikirkan untuk memberikan layanan yang terbaik kepada wisatawan.
"Layanan yang akan diberikan adalah antara lain layanan transportasi di setiap bandara. Itu kesan pertama. Ketika saya belajar di Akademi Pariwisata dulu, saya diajarkan bahwa 'kesan pertama wisatawan di sebuah destinasi, atau hotel atau restauran akan mempengaruhi seluruh liburannya'. Kita semua mengalami, begitu keluar dari ruang kedatangan, kita diserbu oleh para pengemudi taksi. Itulah kesan pertama. Itulah yang disebut pengalaman/ experience itu," paparnya.
Paul menjelaskan, penumpang tidak mengetahui keadaan kendaraan, dan tentu saja tidak mengetahui pengemudi.
"Dalam hubungan dengan pamdemi Covid-19, penumpang berhak untuk mendapatkan layanan yang memenuhi syarat CHSE (Cleanliness, Health, Safety dan Environment). Apakah sopir-sopir di setiap airport itu memenuhi CHSE? Mungkin ya, mungkin tidak. Untuk tidak memberikan keraguan ya atau tidak, pemerintah melalui Kemenparekraf perlu mengambil langkah dan tindakan nyata. Tindakannya antara lain adalah melakukan kerja sama (kolaborasi) dengan Grab. Mengapa Grab. Karena Grab, mungkin menurut penilaian Kemenparekraf dapat memberikan layanan kendaraan dengan mengedeoankan CHSE. Grab lebih mudah melakukan inovasi terhadap kendaraan yang disiapkan untuk kebutuhan wisatawan, baik di airport maupun di hotel-hotel," tuturnya.
Dengn begitu, lanjutnya yang hidup pasti Grab. "Dia (Grab) punya semua. Mudah untuk berinovasi karena modal besar ada, dan lapangan pekerjaan tersedia dan diperluas. Sebagai start up yang “decacorn” pasti dapat melakukan yang terbaik karena didukung oleh sumber daya yang mumpuni," urainya.
Yang mati, menurutnya, adalah mobil-mobil pribadi, koperasi transportasi yang selama ini menguasai bandara atau pelabuhan laut atau terminal bus.
"Mereka akan kehilangan lahan pekerjaan. Mungkin akan timbul protes di sana-sini," ucapnya.
Lantas bagaimana jalan keluar? "Mereka yang sudah hadir di sana, di Bandara dan sebagainya tidak boleh dieliminasi atau dilarang mencari makan di tempat di mana dia berada sebelumnya," ungkapnya.
Paul menuturkan, Grab tidak hanya diberikan lahan berusaha tetapi juga diberikan tugas tambahan, yaitu merangkul organisasi atau perkumpulan penyedia transportasi di setiap bandara yang menjadi prioritas pemerintah (Kemenparekraf) untuk kerja sama.
"Silakan meremajakan kendaraan mereka dengan fasilitas CHSE. Dengan demikian tidak akan muncul keributan dan pertengkaran di lapangan," tegasnya.
Ia mengemukakan, kolaborasi Kemenparekraf dengan Grab tidak akan merampas lahan biro perjalanan wisata (BPW).
"BPW di dalam melakukan layanan kepada wisatawannya baik itu perorangan/ FIT maupun grup tentu tetap menggunakan kendaraan mereka sendiri dengan memenuhi syarat CHSE pada saat menjemput di Bandara, mengantar kembali ke Bandara serta melakukan kegiatan perjalanan wisata di destinasi wisata," tambahnya. (Gabriel Bobby)