JAKARTA'S EVENTS

Wakil Menteri Veronica Tan Apresiasi Kepak Sayap Bunda

post-img

PATADaily.id - Jakarta - Melalui karya sastra, suara anak Indonesia dihadirkan bukan hanya sebagai pelengkap, melainkan juga sebagai subjek yang layak didengar, dihormati, dan dilindungi.

Demikian dikatakan oleh Wakil Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Veronika Tan ketika memberikan kata sambutan yang dibacakan oleh Eko Novi Aryanti Rahayu Damayanti, Asisten Deputy Koordinasi Pelaksanaan Kebijakan Pemenuhan Hak Anak Wilayah II.

Pada peluncuran dan diskusi antologi puisi dan cerpen Kepak Sayap Bunda ” Anak Merah Putih Tidak Takut Masalah” bersama Taman Inspirasi Sastra Indonesia (TISI) dengan moderator Rissa Churria di Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin, Gedung Panjang Lantai IV, Pusat Kesenian Jakarta (PKJ) Taman Ismail Marzuki (TIM) di Jakarta, (22/12/2025) sekaligus bertepatan memperingati Hari Ibu 2025.

“Bertepatan dengan peringatan Hari Ibu pada Selasa 22 Desember 2025 ini, kehadiran buku antologi puisi dan cerpen ini akan menjadi pengingat bahwa pengasuhan, kasih sayang, dan perlindungan adalah pondasi utama bagi tumbuh kembang anak,” katanya.

Menurutnya, karya dalam buku antologi puisi dan cerpen Kepak Sayap Bunda “Anak Merah Putih Tidak Takut Masalah ” setebal 542 halaman ini adalah sebuah karya yang lahir dari kepedulian, keberanian, dan cinta terhadap.dunia anak Indonesia.

“Karya dalam buku ini memotret dunia anak dengan bahasa yang jujur, dan menyentuh tentang harapan, luka, keberanian, dan tentang mimpi yang terus tumbuh meskipun dalam keterbatasan,” ucapnya.

Dikatakannya lagi, keluarga tidak dapat menjalankan peran pengasuhan sendiri.Pengasuhan yang kuat di rumah perlu ditopang oleh komunitas yang peduli.Kerika anak melangkah keluar dari rumah, ia berhadapan dengan sekolah, teman sebaya, ruang publik dan dunia digital.

Antologi Kepak Sayap Bunda menghimpun karya sekitar 190 penyair dan 90 cerpenis dari berbagai daerah dan latar sosial. Keberagaman ini bukan sekadar statistik, melainkan cermin kebersamaan suara.

Halimah Munawir menyebut proses kurasi dan penyatuan karya sebagai pengalaman emosional.

“Kami membaca luka, harapan, ketakutan, dan keberanian dari sudut pandang yang berbeda-beda, tapi satu tujuannya sama: anak harus dilindungi,” katanya.

Puisi dan cerpen dalam buku ini berbicara tentang kekerasan domestik, kehilangan, ketangguhan ibu, kesunyian anak, hingga mimpi-mimpi kecil yang bertahan di tengah keterbatasan.

“Sayur Rumput”: Cerpen yang Lahir dari Pengalaman Hidup
Kontribusi Halimah Munawir, pemilik Rumah Budaya HMA dalam buku ini berupa cerpen berjudul “Sayur Rumput”, sebuah kisah yang sepenuhnya berangkat dari pengalaman pribadinya semasa SMA.

Cerita itu mengisahkan pengalaman Halimah mengikuti kegiatan Pramuka dan berkemah di kawasan hutan karet Cibungur. Dalam kegiatan mencari jejak, kelompoknya ada lima orang remaja yang kehilangan arah dan tersesat hingga menjelang senja.

“Kami kelaparan. Tidak ada bekal. Kami hanya punya kebersamaan,” kenangnya.

Dalam kondisi terdesak, mereka memutuskan memanfaatkan rumput liar dan air sungai sebagai bahan makanan. Api dinyalakan secara alami dengan gesekan batu, tanpa alat modern.

Cerita ini bukan glorifikasi penderitaan, melainkan pelajaran tentang gotong royong, pengetahuan alam, dan keberanian mengambil keputusan di tengah keterbatasan.

Sastra sebagai Pendidikan Ketahanan Mental Anak
Halimah pun menekankan bahwa Sayur Rumput sengaja tidak ditulis dengan nada melodramatis. Ia ingin menunjukkan bahwa anak-anak dan remaja memiliki kapasitas bertahan yang luar biasa, jika diberi kepercayaan dan ruang.

“Ketahanan mental tidak lahir dari kemewahan, tapi dari pengalaman,” ujarnya.

Nilai ini selaras dengan tujuan besar buku: membangun keberanian anak menghadapi masalah, bukan dengan menutup mata terhadap realitas, tetapi dengan menguatkan daya hidup.

Negara Mendengar: Sambutan Wakil Menteri PPPA
Dalam peluncuran buku, Wakil Menteri PPPA Veronica Tan, melalui sambutan yang dibacakan pejabat kementerian, menegaskan bahwa anak Indonesia harus dipandang sebagai subjek, bukan objek kebijakan.

Ia menyebut buku Kepak Sayap Bunda sebagai karya yang lahir dari kepedulian, keberanian, dan cinta, serta memotret dunia anak dengan bahasa jujur dan menyentuh.

Pernyataan ini memperkuat pesan Hj Halimah bahwa sastra dapat menjadi mitra negara dalam upaya perlindungan anak, bukan sekadar produk budaya.

Keluarga Tidak Bisa Sendiri
Salah satu penekanan penting dalam diskusi adalah kenyataan bahwa keluarga tidak bisa bekerja sendiri dalam pengasuhan anak. Ketika anak keluar dari rumah, ia berhadapan dengan sekolah, lingkungan sosial, ruang publik, hingga dunia digital yang penuh risiko.

Di sinilah komunitas memainkan peran strategis. Halimah menilai TISI telah membuktikan bahwa komunitas sastra dapat menjadi ruang aman dan ruang tumbuh bagi anak dan ibu.

“Sastra memberi ruang bicara tanpa menghakimi,” katanya.

Data Kekerasan Anak: Fakta yang Tidak Bisa Diabaikan
Diskusi semakin tajam ketika Reza Indragiri, Master Psikolog Forensik, memaparkan data SIMFONI-PPA Juli 2025 yang mencatat 15.615 kasus kekerasan terhadap anak, mayoritas berusia 13–17 tahun.

Yang paling mengkhawatirkan, kekerasan itu banyak terjadi di lingkungan rumah tangga.

“Sebagian besar pelaku adalah korban yang tidak pernah disembuhkan,” kata Reza.

Fakta ini mempertegas relevansi buku Kepak Sayap Bunda. Sastra, dalam konteks ini, bukan pelarian, melainkan alat pencegahan kultural.

Pemerintah sebagai Pendengar, Bukan Pengarah
Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan DKI Jakarta, Nasruddin Djoko Surjono, menegaskan bahwa sastra adalah denyut nadi kemanusiaan. Ia menyatakan pemerintah tidak ingin mendikte sastra, tetapi mendengarkan dan menguatkan.

Pendekatan ini diapresiasi Hj Halimah, karena memberi ruang kebebasan bagi penulis untuk jujur menyuarakan realitas.

Parade Puisi: Ketika Anak Hadir di Panggung
Acara peluncuran ditutup dengan parade baca puisi yang menghadirkan penyair lintas generasi, termasuk anak berusia 7 tahun yang tampil bersama ayahnya.

Bagi Halimah, momen ini sangat simbolik. “Anak tidak hanya dibicarakan, tapi dihadirkan,” ujarnya.

Panggung sastra berubah menjadi ruang dialog lintas usia, menegaskan bahwa anak adalah bagian dari suara hari ini, bukan sekadar harapan masa depan.

Penegasan Halimah Munawir: Sastra Harus Berpihak
Dalam penutup wawancara eksklusifnya, Halimah Munawir menyampaikan satu pesan kunci: sastra tidak boleh netral terhadap ketidakadilan.

“Kalau sastra diam ketika anak disakiti, maka sastra kehilangan martabatnya,” tegasnya.

Ia berharap Kepak Sayap Bunda tidak berhenti sebagai buku, tetapi menjadi gerakan kesadaran, dibaca oleh orang tua, pendidik, pembuat kebijakan, dan masyarakat luas.

Kepak Sayap yang Terus Bergerak
Kepak Sayap Bunda: Anak Merah Putih Tidak Takut Masalah adalah lebih dari antologi. Ia adalah dokumen sosial, ruang kesaksian, dan penegasan sikap bahwa anak Indonesia berhak atas rasa aman, suara, dan masa depan yang bermartabat.

Melalui pengalaman personal Halimah Munawir, dukungan negara, dan kebersamaan ratusan penulis, sastra kembali menunjukkan fungsinya yang paling hakiki: membela kemanusiaan.

Di Hari Ibu 2025, sastra tidak hanya merayakan ibu tetapi menguatkan anak dan menegur nurani bangsa. (Gabriel Bobby)

 

Artikel Lainnya

Banner of PATA - Left Side
Banner of PATA - Right Side