PATADaily.id - Jakarta - September selama ini identik dalam dunia pariwisata lantaran setiap 27 September adalah perayaan Hari Pariwisata Dunia. Dan, tak ketinggalan pada 2025 ini Indonesia juga akan ikut merayakan World Tourism Day.
"Dari sudut pandang kami, jika kita kembali lagi ke akar budaya kita, kita akan melihat bahwa sedari dulu kita sudah menerapkan konsep green maupun sustainability," kata Jony Yuwono, pemilik Acaraki, the Art of Jamu ketika dihubungi PATADaily.id, Rabu (17/9/2025).
Sebagai contoh, lanjuntya, lihatlah praktik pengemasan nasi bungkus, kue tradisional dan berbagai makanan lainnya yang memanfaatkan daun-daunan. Jony menjelaskan, teknik melipat yang beragam merupakan local wisdom yang sangat relevan karena menggunakan daun sebagai kemasan ramah lingkungan yang dapat terurai, solusi sebagai alternatif dari kemasan plastik.
"Lihatlah rumah Joglo kita yang melalui kontruksi kayu dan atap yang tinggi, menghasilkan ruangan dengan aliran udara yang bagus untuk tetap sejuk walau di siang hari tanpa AC. Pembangunannya pun tanpa tiang pancang, yang menghabiskan banyak energi untuk ditanamkan ke dalam tanah," paparnya.
Joglo, menurutnya, dibangun dengan pondasi batu kali yang kuat dan menahan beban langsung pada tiang-tiang utamanya (Saka Guru). "Kontruksi Joglo juga menerapkan teknik sambungan kayu dengan pasak atau penguat kayu untuk menciptakan struktur yang kokoh; tanpa menggunakan paku besi maupun rangka besi lainnya. Rumah Joglo memiliki struktur yang tahan terhadap gempa karena penggunaan material kayu yang lentur, sambungan yang fleksibel, serta pondasi umpak yang berfungsi sebagai isolator. Lenturan material dan desain strukturalnya yang cerdas memungkinkan bangunan meredam getaran dan guncangan sehingga lebih stabil saat terjadi gempa. Selain Joglo, kita juga bisa melihat berbagai rumah adat di seluruh pelosok Indonesia yang bisa bertahan dari berbagai cobaan bencana dari alam; suatu bahan pembelajaran yang menarik untuk para wisatawan asing maupun lokal," terangnya.
Sementara dari batik dan tenun, ucapnya, kita melihat bagaimana masyarakat negeri ini menaruh filosofi dan makna ke dalam kain yang dibuat, sehingga telah menerapkan konsep pakaian sebagai simbol identitas penjaga sikap; menjunjung tinggi kualitas dan makna dalam suatu busana.
"Bukan tentang berapa banyak pakaian yang anda punya, tetapi apakah pakaian tersebut mewakili identitas anda. Jika kita mulai menaruh perhatian lebih terhadap pakaian sebagai identitas, mungkin kita tidak memerlukan untuk membeli pakaian secara berlebihan. Karena banyak yang tidak sadar bahwa industri fashion merupakan kontributor polusi yang cukup besar; seperti kimia sintetis yang dipakai sebagai pewarna, pakaian bekas yang mengandung plastik yang terbuang sembarangan dan sebagainya," ujarnya.
"anyak praktik budaya Indonesia sangat bersahabat dan ramah lingkungan, istilahnya jika di luar negeri sedang mencoba untuk ‘back to nature’, kita sebenarnya sudah ‘living with nature’".
Ia mengungkapkan, Acaraki melalui berbagai ‘Proyek Revitalisasi’ mencoba untuk mempelajari, mengrevitalisasi dan memperkenalkan kembali berbagai warisan budaya yang kita miliki. Selain, lanjutnya, menyeduh jamu dengan alat dan teknik kopi, kita telah mengprogram angklung untuk bisa dimainkan secara otomatis, memasang motor listrik untuk menjalankan kereta kencana tanpa kuda, menggabungkan orchestra dengan gamelan dan sinden untuk menjadi suatu lagu yang unik, dan sebagainya.
"Tujuannya adalah memberikan pengetahuan dan pengalaman yang unik dan berharga bagi para wisatawan," tambahnya. (Gabriel Bobby)