PATADaily.id - Sektor pariwisata mendapatkan tantangan yang sangat berat di masa pandemi Covid-19 ini. Larangan bepergian dan berkumpul membuat sektor ini sangat terpukul dan menjadi sektor yang pertama kali mati suri dan diperkirakan akan menjadi sektor yang paling lama mampu untuk bangkit kembali.
Saat ini fokus untuk kembali menggerakkan roda pariwisata sedang sangat digalakkan. Beragam strategi sedang coba dirancang agar pariwisata dapat segera bergerak secepatnya. Menjadikan Experiential Tourism sebagai andalan pariwisata paska pandemi adalah pilihan tepat agar industri pariwisata dapat segera bangkit kembali.
Perjalanan Wisata Sehat yang Lebih Intim, Personal dan Transformasional dengan Experiential Tourism
Kekhawatiran utama di sektor pariwisata pada masa pandemi ini adalah kemungkinan wisatawan tertular atau menularkan virus sehingga akan memperparah dampak pandemi. Hal ini sangat mungkin terjadi bila jenis wisata yang dilakukan adalah Wisata Massal (Massive Tourism).
Dalam Wisata Massal, wisatawan yang berbondong-bondong berkunjung akan menyulitkan pengawasan, sehingga membuat resiko penularan Covid-19 semakin besar. Namun pada Experiential Tourism tidak demikian.
Tiga hal yang membuat Experiential Tourism cenderung lebih dapat minim risiko penularan Covid-19 adalah sebagai berikut:
- Experiential Tourism memberikan pengalaman wisata yang lebih intim dan personal pada sekelompok wisatawan. Dalam Experiential Tourism, jumlah wisatawan dibatasi, biasanya hanya beberapa orang dalam satu kelompok wisatawan saja. Hal ini akan memudahkan kontrol terhadap status kesehatan dan perilaku wisatawan agar sesuai protokol kesehatan sehingga meminimalisir risiko penyebaran Covid-19.
- Dalam Experiential Tourism, perjalanan wisata dipandang sebagai sebuah program pembelajaran untuk pengembangan diri peserta (personal development). Experiential Tourism harus mampu memberikan pengalaman transformasional bagi wisatawan. Rangkaian Program Experiential Tourism dirancang dengan memperhatikan semua rangkaian pengalaman wisata bagi wisatawan, bahkan sejak sebelum berangkat hingga kembali ke daerah asal. Dengan proses merancang program yang detail, perilaku wisatawan dalam perjalanan Experiential Tourism dapat dikontrol dengan mempertimbangkan protokol kesehatan sehingga meminimalisir resiko penyebaran virus Covid-19.
- Peran sentral dalam Experiential Tourism ada pada sosok fasilitator yang mendampingi dan memfasilitasi wisatawan secara intens dalam rangkaian perjalanan wisatanya. Fasilitator tidak hanya berperan sebagai pemandu wisata, tapi juga sebagai pemandu bagi proses penghayatan peserta terhadap pengalaman yang didapatkan. Peran fasilitator yang selalu berada ‘dekat’ dengan peserta ini dapat melakukan pengawasan yang baik sehingga membuat risiko penularan virus Covid19 semakin kecil.
Tren Experiential Tourism sejak tahun 2017
Istilah Experiential Tourism memang masih sangat jarang dipahami tidak hanya oleh wisatawan tapi juga oleh pelaku industri pariwisata di Indonesia. Padahal, menurut laporan Global Growth Agent tahun 2017, 60% wisatawan global ingin mendapatkan perjalanan wisata yang lebih menghargai ‘pengalaman’, tidak hanya sekadar datang dan melihat. Mereka ingin perjalanan wisatanya lebih ‘experiential’.
Perilaku wisatawan sudah berubah dan ingin ‘travel better’ dengan ikatan ‘pengalaman’ yang lebih dalam dan personal dengan lokasi, budaya dan orang-orang yang ditemui di tempat wisata (laporan Skift & Peak Adventure Travel Group). Wisatawan ingin pengalaman wisata yang lebih baik, lebih personal dan lebih emosional.
Sebenarnya Kemenparekraf sudah membaca sinyal ini. Menurut Kemenparekraf terjadi pergeseran orientasi wisata sejak tahun 2017, dari Wisata Massal menuju Wisata Alternatif atau Wisata Minat Khusus dengan pola wisata yang menekankan kepada aspek penghayatan dan penghargaan terhadap aspek lingkungan, budaya dan kelestarian alam. Namun sayangnya upaya untuk mengembangkan Wisata Experiential masih sangat minim dilakukan. Salah satu penyebab utamanya adalah kurangnya pemahaman mengenai karakteristik Wisata Experiential.
Mengenal Experiential Tourism
Experiential Tourism adalah turunan dari Experiential Learning yang secara spesifik menggunakan wisata sebagai pengalaman untuk dihayati dan dimaknai oleh diri wisatawan. Experiential Tourism menjanjikan pengalaman yang ‘transformative’ bagi diri wisatawan. Tidak hanya sekadar berwisata, tapi memberikan dampak dalam perkembangan personal wisatawan dengan menghayati pengalaman dari perjalanan wisatanya.
Menurut Nature And Outdoor Tourism Ontario (NOTO), beberapa bentuk turunan Experiential Tourism antara lain; Heritage Tourism, Eco Tourism, Educational Travel & Experimental Travel. Presiden Adventure Travel Trade Association (ATTA), Shannon Stowell bahkan menyatakan bahwa tren Adventure Tourism yang semakin meningkat harus membuat Provider Wisata Petualangan harus mampu menjadikan paket wisatanya lebih “experiential’ dengan cara memberikan pengalaman petualangan yang lebih ‘transformative’ bagi diri wisatawan.
Secara sederhana bentuk dari Experiential Tourism dapat terdiri dari, wisata budaya, wisata komunitas, wisata petualangan, studi wisata, perjalanan insentif (incentive travel), wisata museum, wisata petualangan, wisata desa dan wisata minat khusus lainnya. Pada dasarnya istilah Experiential Tourism dapat dipadankan dengan Wisata Minat Khusus di Indonesia. Namun yang sangat disayangkan, pengembangan Wisata Minat Khusus di Indonesia kurang memperhatikan unsur ‘Experiential’ dalam pengemasannya.
Wisata Minat Khusus yang tidak Experiential
Kesalahan umum yang sering terjadi dalam pengemasan Wisata Minat Khusus adalah kurangnya sentuhan penghayatan pengalaman. Dalam Experiential Tourism, wisatawan harus dibuat lebih menghayati dan menghargai pengalaman wisatanya sehingga mampu memberikan makna pembelajaran bagi wisatawan. Menyediakan tempat dengan segala situs dan atraksi yang syarat kearifaan lokal mungkin cukup untuk membuat sebuah destinasi Wisata Minat Khusus. Namun, tidak cukup untuk membuatnya menjadi Wisata Experiential.
Membuat dan membangun lokasi Wisata Minat Khusus tanpa ada sentuhan ‘Experiential’, hanya akan membuat tempat wisata tersebut menjadi atraksi Wisata Massal yang cepat kehilangan pesonanya. Seperti contoh adalah wisata Kota Tua di DKI Jakarta. Kota Tua yang dibangun kembali dengan harapan dapat menjadi destinasi Wisata Minat Khusus akhirnya berubah menjadi destinasi Wisata Massal saja.
Contoh yang lebih parah adalah terciptanya lokasi Wisata Minat Khusus yang nyatanya malah tidak memiliki kekhususan, seperti sebagian besar Desa Wisata di Indonesia. Program pembangunan Desa Wisata di seluruh Indonesia sebagai lokasi Wisata Minat Khusus yang sudah dicanangkan sejak tahun 2012 adalah contoh gagal pembuatan atraksi Wisata Minat Khusus karena tidak memperhatikan sentuhan Experiential dalam pembuatannya.
Pada tahun 2019 dilaporkan lebih dari 40% Desa Wisata di Gunung Kidul dan lebih dari 30% Desa Wisata di Jawa Tengah mati suri. Hal ini terjadi karena tidak ada keunikan yang khusus di tiap Desa Wisata tersebut. Kejadian yang sering ditemui adalah Desa Wisata yang berbondong-bondong membangun wahana outbound sehingga membuat semua Desa Wisata menawarkan atraksi yang sama dan serupa. Akhirnya, tidak ada yang spesial dari Desa Wisata tersebut. Kalah saing dengan Wahana Wisata Outbound Profesional. Akhirnya instalasi wahana outbound yang menghabiskan investasi tidak sedikit itupun terbengkalai.
Experiential Tourism sebagai Andalan Sektor Pariwisata Paska Pandemi
Indonesia dengan berbagai kekayaan Alam, Budaya, Sejarah, Suku, dan Komunitas adalah surga bagi Experiential Tourism. Yang diperlukan hanyalah tinggal memberikan sentuhan Experiential pada potensi Wisata Minat Khusus yang ada. Beragam atraksi dan lokasi wisata unik dan menarik yang tersebar di seluruh bumi Indonesia adalah modal dasar terbesar untuk membuat pariwisata Indonesia bangkit dengan bertumpu pada Experiential Tourism.
Namun dalam praktiknya, mengemas Experiential Tourism memang bukanlah hal yang mudah.
Agar pengemasan paket Experiential Tourism benar-benar ‘Experiential’ yang memberikan peserta kesempatan untuk menghayati dan memaknai pengalaman wisatanya sehingga sangat berkesan, maka beberapa fokus pengembangan kapasitas yang perlu dilakukan antara lain:
– Peran Komunitas sebagai Fasilitator.
Komunitas asli lokal adalah tumpuan dalam Experiential Tourism. Wisatawan mengharapkan koneksi orisinal dengan orang-orang tidak lokasi wisata, hal yang hanya dapat diberikan oleh penduduk asli/lokal.
Upaya peningkatan kapasitas komunitas lokal agar mampu menjadi Fasilitator Experiential Tourism harus menjadi fokus Pemerintah dan Industri Pariwisata.
– Kompetensi Merancang Program Experiential Learning.
Agar mampu merancang program Experiential Tourism secara baik, benar dan tepat, kompetensi dasar Experiential Learning harus dimiliki oleh perencana program wisata agar mampu meramu atraksi wisata yang ada menjadi sebuah paket Experiential Tourism.
Dalam merancang program Experiential Tourism, aspek atraksi wisata dan tujuan pembelajaran harus mampu dirangkai sedemikian rupa agar wisatawan dapat merasakan pengalaman wisata yang transformasional tapi tanpa terkesan menggurui.
Experiential Tourism menjanjikan potensi yang besar bagi industri Pariwisata. Meskipun dalam sekali pelaksanaannya hanya melibatkan wisatawan dalam jumlah yang relatif lebih sedikit dibandingkan dengan Massive Tourism, Experiential Tourism merubah perilaku wisatawan menjadi tinggal lebih lama dan menghabiskan lebih banyak (stay more, spent more).
Dengan potensi yang dimiliki oleh Indonesia dalam Experiential Tourism serta besarnya peluang yang dapat diambil, sudah sepatutnya kita mulai menyiapkan diri untuk membuat Experiential Tourism menjadi andalan sektor pariwisata paska pandemi Covid-19.
Gigih Gesang
Sekjen Asosiasi Experiential Learning Indonesia (Gabriel Bobby)