PATADaily.id - Setiap tanggal 27 September telah disepakati oleh United Nation World Tourism Organization (UNWTO) sebagai Hari Pariwisata Dunia (World Tourism Day/WTD).
Ditetapkannya tanggal 27 September ini bertepatan dengan pertama kali UNWTO merancang anggaran dasarnya pada 1970 silam.
Namun baru 10 tahun berikutnya, yaitu tahun 1980, UNWTO memutuskan hari resmi World Tourism Day di Torremolinos, Spanyol.
Pada tahun 2021, Hari Pariwisata Dunia telah memasuki tahun ke-41 sejak diresmikannya di tahun 1980 di Spanyol.
Peringatan WTD untuk meningkatkan kesadaran masyarakat internasional dan Indonesia khususnya, akan pentingnya dampak pariwisata terhadap nilai budaya, sosial, ekonomi, politik, dan lingkungan. Selain itu, pariwisata juga sebagai salah satu kontributor penting dalam mencapai tujuan pembangunan yang berkelanjutan atau Sustainable Development Goals.
Indonesia memiliki kepentingan yang besar untuk pemajuan agenda-agenda global pariwisata, utamanya pemulihan pariwisata pasca pandemi COVID-19. Dalam hal ini, Indonesia telah merancang berbagai program untuk mendukung pemulihan pariwisata di masa pandemi.
Tidak main-main, sejak Februari 2020 lalu jumlah wisatawan mancanegara yang masuk ke Indonesia mengalami penurunan yang sangat drastis, dan puncaknya terjadi April 2020 dengan jumlah wisatawan hanya sebanyak 158 ribu, sesuai dengan data dari Kemenparekraf/Baparekraf (2021). Hal ini pun berdampak pada pendapatan negara di sektor pariwisata.
Adanya pembatasan sosial berskala besar dan ditutupnya akses keluar-masuk Indonesia, menyebabkan penurunan pendapatan negara di sektor pariwisata sebesar Rp20,7 miliar! Melihat data di atas, tentunya perlu segera pemulihan untuk sektor pariwisata. Kunci utamanya adalah memiliki kemampuan adaptasi, inovasi, dan kolaborasi yang baik.
Pasalnya, saat ini pelaku masyarakat mulai berubah, dan dibarengi dengan tren pariwisata yang telah bergeser. Kolaborasi memang menjadi kata yang paling populer di masa kini. Di antaranya adalah antara pelaku pariwisata, seperti yang terjadi antar komunitas dengan Community Based Tourism (CBT)-nya. CBT sangat berbeda dengan pariwisata massa (mass tourism). CBT merupakan model pengembangan pariwisata yang berasumsi bahwa pariwisata harus berangkat dari kesadaran nilai-nilai kebutuhan masyarakat sebagai upaya membangun pariwisata yang lebih bermanfaat bagi kebutuhan, inisiatif dan peluang masyarakat lokal.
CBT bukanlah bisnis wisata yang bertujuan untuk memaksimalkan profil bagi para investor. CBT lebih terkait dengan dampak pariwisata bagi masyarakat dan sumber daya lingkungan (environmental resources). CBT lahir dari strategi pengembangan masyarakat dengan menggunakan pariwisata sebagai alat untuk memperkuat kemampuan organisasi masyarakat rural/lokal.
Pada Senin, 27 Desember 2021, Institut Ilmu Sosial dan Manajemen STIAMI menjadi co- host dalam penyelenggaraan serial kegiatan WTD yang diselenggarakan setiap bulannya sepanjang 2021 dengan tema “Community Based Tourism as an Alternative Solution During Pandemic Covid-19: Lessons Learned and Best Practices”.
Lebih istimewa lagi, webinar hari ini adalah webinar pamungkas dari serangkaian webinar yang diinisiasi oleh World Tourism Day Indonesia Foundation (Yayasan Hari Pariwisata Dunia Indonesia), PATA Indonesia Chapter, El John TV, ICPI (Ikatan Cendekiawan Pariwisata Indonesia), dan 13 Perguruan Tinggi di Indonesia.
Selain itu, webinar hari ini juga menjadi webinar pertama menjelang 2022 mendatang dimana Indonesia telah ditetapkan untuk menjadi tuan rumah penyelenggaraan World Tourism Day 2022 dengan tema “Rethinking Tourism".
Panelis dalam webinar kali ini terdiri atas para pakar yang akan berbicara mengenai Community Based Tourism, yaitu dari kalangan akademisi dan praktisi.
Di antaranya, Prof Emeritus Dato’ Dr. Abdul Kadir dari Universiti Utara Malaysia dan Prof Dr Yuwana M Mardjuka, M.Si dari LSPR Communication and Business Insititute. Mereka akan memberikan pemahaman mengenai Community Based Tourism terhadap destinasi pariwisata terutama dalam hal ekonomi dan kreativitas.
Pemahaman CBT ini lalu diimplementasikan di desa wisata oleh komunitas di Bandung, Thailand, Cikarang, yaitu Galih Sedayu dari Ruang Kolabarasa, ICCN-Bandung, Saifon Koratanawitaya, MBA, dari Rajamanggala University of Technology Srivijaya Thailand, dan Asam Somantri, S.Pd., dari Desa Hegarmukti, Cikarang,Kab. Bekasi.
Webinar akan dimoderatori oleh Dr. Shaharudin Tahir dari Universiti Utara Malaysia, Heni Pridia Rukmini Sari, SS., M.Par., dan Rustini, S.IP., MM, dari Institut STIAMI.
Webinar dengan Keynote Speech dari Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Dr. Sandiaga
S. Uno, BBA., MBA dan dibuka oleh Prof. Dr. Wahyuddin Latunreng, MM, selaku Rektor
Institut STIAMI dengan Prof. Azril Azahari, Ph.D, chairman WTD Indonesia Foundation dan
ICPI sebagai tuan murah.
Diharapkan Community Based Tourism menjadi faktor pendorong kebangkitan pariwisata di
saat seperti sekarang ini. Kolaborasi harmonis antara stakeholders untuk memajukan
keberadaan sebuah destinasi sehingga bermanfaat bagi masyarakatnya dan juga impak dari multiplier effect-nya. Belajar langsung dari pakar yang juga merupakan kolaborasi dari
strategi pentahelix sehingga akan mendapatkan energi positif Collaboration. Salah satu
contoh kolaborasi adalah kolaborasi antara akademisi, mahasiswa, dengan pengelola desa
wisata yang kali ini dilakukan antara Institut STIAMI dengan desa Hegarmukti di Cikarang,
Kabupaten Bekasi. Saling berbagi, saling menginspirasi, saling bekerja sama dan bersinergi
menjadi kunci percepatan pembangunan destinasi, khususnya di desa wisata sehingga
berakibat pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dan adanya multiplier effect.
Webinar berlangsung secara online via Youtube @Institut Stiami, @El John TV,
dan zoom. (Gabriel Bobby)