PATADaily.id - Jakarta - Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (KJB) atau Perkumpulan Muda Katolik di Waterlooplein Noord (kini Gedung Sumpah Pemuda Gereja Katedral Jakarta di Jalan Lapangan Banteng Utara No 7) pada 27 Oktober 1928 lalu menjadi titik awal sidang pertama Kongres Pemuda II yang memberi denyut penegasan semangat kebangsaan yang kini hingga mendunia.
Betapa tidak, salah satu hasil Kongres, yakni Bahasa Indonesia mulai digunakan di Sidang Umum (UNESCO) nanti 1 November 2025, yakni 27 tahun sesudah Soempah Pemuda digaungkan 1 hari sesudah 27 Oktober 1928 di Kramat Raya No 106.
Keberhasilan bahasa Indonesia sebagai Bahasa Nasional dianggap sebagai suatu kejaiban; sukses besar dan fenomena lingusitik yang spektakuler.
Meski internasionalisasi bahasa Indonesia tidak harus berarti mengabaikan keragaman linguistik dalam negeri. Tanggung jawab warisan 'Soempah Pemoeda' ini mesti dibarengi dengan perspektif superdiversity. Artinya menghargai dinamika, agama, dan identitas penutur 718 bahasa di seluruh wilayah Nusantara.
Salah satu warisan historis Gereja Katolik adalah Rasa Cinta akan Tanah Air sehingga Gereja tidak sekadar hadir dalam bentuk gedung Gereja, namun Gereja juga mewujud lewat kaum muda Katolik yang tampil menjadi saksi lahirnya semangat “satu tanah air, satu bangsa, satu bahasa”.
Keterlibatan ini bukan kebetulan. Organisasi pemuda Katolik seperti KJB dan Katholieke Social Bond telah menjadi bagian dari denyut sosial Hindia Belanda, membuka diri terhadap gagasan kebangsaan yang melampaui batas keagamaan.
Walaupun belum banyak catatan yang menuliskan nama-nama pemuda Katolik yang hadir dalam kongres itu, keberadaan gedung Katolik sebagai tempat sidang menunjukkan satu hal penting: umat Katolik menyediakan ruang, baik fisik maupun simbolik, bagi lahirnya Indonesia yang bersatu.
Kehadiran Katolik dalam peristiwa monumental itu memancarkan pesan kuat. Bahwa umat Katolik tidak berdiri di pinggir jalan sejarah, tetapi ikut berjalan bersama bangsa ini menuju kemerdekaan. Gereja dan komunitasnya menjadi bagian dari proses membangun identitas nasional, membawa semangat iman ke dalam persekutuan kebangsaan. Di tengah situasi kolonial yang mengekang, keterlibatan itu menunjukkan keberanian untuk meletakkan kepentingan bersama di atas batas-batas iman dan golongan.
Kini, hampir satu abad kemudian, Sumpah Pemuda tetap menjadi fondasi kebhinekaan dan toleransi Indonesia. Ikrar “satu tanah air, satu bangsa, satu bahasa” adalah janji lintas iman yang terus menuntut kesetiaan baru di setiap zaman.
Bagi umat Katolik, sejarah ini menjadi pengingat bahwa iman tidak pernah bertentangan dengan nasionalisme, melainkan memperkaya arti cinta tanah air dengan semangat pelayanan dan solidaritas.
Dalam konteks hari ini, ketika dunia digital dan politik identitas sering memecah belah masyarakat, jejak umat Katolik dalam Sumpah Pemuda menjadi inspirasi nyata. Toleransi bukan sekadar slogan, melainkan tindakan yang konkret: membuka pintu, berbagi ruang, berdialog, dan bekerja bersama untuk kebaikan bersama.
Seperti KJB yang dulu membuka pintunya untuk Kongres Pemuda, generasi Katolik kini dipanggil membuka ruang bagi persaudaraan sejati di sekolah, komunitas, dan dunia maya.
Namun, sejarah juga mengingatkan bahwa pekerjaan belum selesai. Masih sedikit penelitian yang secara mendalam menelusuri peran individu Katolik dalam Kongres Pemuda II. Ini menjadi peluang bagi para sejarawan dan pemuda Katolik untuk menggali kembali arsip, majalah zaman Hindia Belanda, atau catatan organisasi seperti Moeda Katholiekyang berdiri tahun 1929 sebagai kelanjutan dari keterlibatan itu.
Refleksi ini menantang kita untuk melanjutkan semangat KJB dengan cara baru: menjadikan sejarah sebagai inspirasi untuk pendidikan toleransi, kebinekaan, dan kebangsaan di era digital.
Karena seperti yang ditunjukkan oleh Sumpah Pemuda, persatuan bukan hanya hasil dari kesamaan, melainkan buah dari kesediaan untuk saling menerima dalam perbedaan.
Salam sehat, berlimpah berkat.
Penulis: + Rm Yos Bintoro, Pr

.jpg)
.jpg)