PATADaily.id - Jakarta - Peringatan HUT ke-80 RI pada 17 Agustus 2025 mengusung tema 'Bersatu, Berdaulat, Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju'. Tema ini rupanya mencerminkan harapan untuk mewujudkan persatuan yang kokoh, kedaulatan negara yang kuat, kesejahteraan rakyat yang merata, dan kemajuan Indonesia di berbagai bidang, tentunya termasuk dari pariwisata Nusantara.
Ya, HUT ke-80 RI menjadi momentum bersejarah yang diperingati secara luas di seluruh pelosok Tanah Air. Perayaan tahun ini tidak hanya bermakna sebagai refleksi delapan dekade kemerdekaan Indonesia, namun juga sebagai tonggak baru dalam perjalanan bangsa menghadapi era globalisasi dan transformasi digital.
PATADaily.id pun mencoba menggali pandangan perempuan negeri ini yang selama ini dikenal berkecimpung dalam sektor pariwisata Nusantara. Wakil Menteri Pariwisata Ni Luh Puspa mengemukakan bahwa pariwisata budaya bisa membawa dampak positif lantaran bisa memberikan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Ya, 80 tahun Indonesia merdeka, pariwisata mempunyai peranan penting dalam menjaga, merawat, dan mengembangkan budaya Nusantara untuk mensejahterakan masyarakat Indonesia.
Wakil Menteri Pariwisata Ni Luh Puspa menjelaskan hal tersebut kepada PATADaily.id, Sabtu (16/8/2025). “Pariwisata budaya menjadi keunikan dan kekuatan daya saing kita di tengah persaingan global. Melalui pariwisata budaya tidak hanya membuka pintu ekonomi, tetapi juga menjaga jati diri dan warisan bangsa,” tuturnya.
Menurutnya, portofolio produk pariwisata Indonesia didominasi oleh produk wisata budaya atau culture (60%), alam atau nature (30%), dan buatan manusia atau man made (5%).
Jadi, lanjutnya, produk wisata budaya menjadi andalan dan sejalan dengan perubahan tren wisatawan yang lebih menyukai pengalaman budaya masyarakat lokal yang dikunjungi.
“Seperti pengalaman dalam mengenal adat istiadat, melihat tradisi, mencicipi kuliner, dan merasakan keramahan masyarakat lokal,” ujarnya.
Ni Luh Puspa mengungkapkan, Indonesia dianugerahi kekayaan budaya yang luar biasa. “Kita mempunyai lebih dari 1.300 suku bangsa, dengan bahasa, adat istiadat, dan seni tradisi yang berbeda-beda. Kita mempunyai warisan budaya kelas dunia seperti Candi Borobudur, Prambanan, dan warisan budaya tak benda (intangible heritage) seperti tradisi dan ekpresi lisan; seni pertunjukan; adat istiadat, ritual dan perayaan; pengetahuan dan praktik tentang alam dan semesta, serta keahlian tradisional sebagai wujud peradaban kita yang unik dan menarik bagi turis domestik maupun turis asing,” paparnya.
Menariknya semua kekayaan dan warisan budaya tersebut selama 80 tahun Indonesia merdeka relatif erjaga dengan baik dan berkembang bahkan mendapat pengakuan dunia internasional.
Misalnya, sistem irigasi Subak di Bali adalah bukti pengakuan global terhadap kehebatan peradaban masyarakat Indonesia. Juga berbagai festival budaya dan upacara adat yang masih hidup hingga kin seperti Ngaben di Bali, Sekaten di Yogyakarta, hingga Cap Go Meh di Singkawang, bahkan Pacu Jalur Tradisional di Kuansing, Riau yang akan berlangsung pada 20-24 Agustus 2025, belakangan ini menjadi viral di seluruh dunia.
Ia pun berharap pariwisata budaya semakin berkembang dan lebih menarik, di antaranya dalam penyelenggaraan event-event yang berkualitas dan berkelanjutan. Hal ini sebagaimana menjadi salah satu program strategis Kementerian Pariwisata penguatan event-event bertaraf internasional dengan Intellectual Property (IP) asli Indonesia yang mengedepankan budaya serta keunikan lokal.
Menurutnya, pariwisata budaya bukan hanya untuk konsumsi turis, melainkan menjadi alat untuk melestarikan tradisi, menjaga keberlanjutan nilai-nilai luhur, sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal yang menjadi pelaku utama budaya itu sendiri.
“Dengan pariwisata budaya, kita tidak hanya memperkenalkan kekayaan warisan bangsa, tetapi juga membangun masa depan yang lebih berdaya bagi masyarakat di akar rumput,’ tuturnya.
Dalam membangun dan mengembangkan pariwisata dan budaya, Wakil Menteri Ni Luh mengaku dihadapkan pada berbagai kendala dan tantangan. “Salah satu yang paling krusial adalah komersialisasi budaya. Ketika tradisi dan warisan budaya dikemas semata-mata untuk kepentingan ekonomi, ada risiko nilai-nilai autentiknya menjadi hilang atau bahkan terdistorsi. Ini tentu tidak kita harapkan,” terangnya.
Ni Luh Puspa tak menampik masih ada kendala dan tantangan lainnya adalah kurangnya edukasi dan kesadaran wisatawan, terutama dalam hal menghormati adat dan norma lokal.
“Tidak sedikit kasus di mana wisatawan bersikap tidak pantas saat menghadiri upacara adat atau mengunjungi tempat suci, karena mereka tidak memahami makna budaya yang ada di baliknya,” tukasnya.
Juga, lanjutnya, infrastruktur dan aksesibilitas menjadi isu penting. Ia menyebut, banyak destinasi budaya yang memiliki nilai luar biasa, namun sulit dijangkau karena keterbatasan akses, transportasi, atau fasilitas dasar.
“Hal ini menghambat pertumbuhan pariwisata yang merata,” ucapnya.
Ia menuturkan, Indonesia tidak hanya dianugerahi keindahan alam yang memukau, tetapi juga kekayaan manusia dan budaya yang luar biasa. “Tidak ada negara lain di dunia yang memiliki lebih dari 300 etnis yang bersatu dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan data BPS 2010,” bebernya.
Karenanya dalam menghadapi berbagai tantangan pengembangan pariwisata dan budaya, diperlukan solusi strategis, salah satunya melalui pendekatan edukasi berbasis storytelling.
Maka, lanjutnya, dengan cara ini, nilai-nilai budaya dapat disampaikan secara menarik, mudah dipahami, dan mampu menyentuh hati wisatawan, baik Nusantara maupun mancanegara, sehingga menumbuhkan rasa hormat dan apresiasi yang mendalam. Sebab, lanjutnya, cerita adalah cara terbaik untuk menyentuh hati dan membangun rasa hormat.
Wamen Pariwisata ini juga mengungkapkan bahwa penguatan komunitas lokal juga sangat penting. “Masyarakat menjadi pelaku utama dalam aktivitas pariwisata mulai
dari pemandu, pengrajin, hingga pengelola homestay, maka keberlanjutan dan pelestarian budaya bisa berjalan lebih organik dan bermartabat.
Tak hanya itu, lanjutnya, pemanfaatan teknologi digital menjadi alat bantu yang efektif, baik untuk promosi maupun pelestarian. Dengan syarat teknologi digunakan untuk memperkuat nilai tradisi, bukan menggantikannya.
Misalnya, digitalisasi tari atau batik, pemanfaatan media sosial untuk memperkenalkan filosofi kuliner tradisional, hingga aplikasi interaktif untuk edukasi budaya sehingga menarik bagi turis domestik (wisnus) dan turis asing (wisman).
Baginya, visi pariwisata Indonesia harus bergeser secara fundamental, dari menjual destinasi menjadi menawarkan transformasi. Kunci utamanya adalah dengan mengkurasi cerita, bukan sekadar menyajikan daftar lokasi.
“Kita harus terus merancang "Jalur Pengalaman" tematik bercerita kuat yang membangkitkan imajinasi seperti "Pelayaran Jalur Rempah" atau "Jejak Spiritual Jawa-Lombok" yang menawarkan narasi kuat bagi wisatawan Nusantara maupun mancanegara” jelasnya.
Oleh sebab itu, lanjutnya, dengan menjual alur cerita yang menggugah maka kita tidak hanya sedang menarik pengunjung tetapi juga memberikan mereka alasan yang lebih dalam untuk menjelajahi keragaman Indonesia.
“Misi akhirnya bukan lagi menghitung jumlah wisatawan, melainkan menciptakan duta-duta baru yang pulang dengan membawa cerita perubahan hidup yang akan mereka bagikan ke seluruh dunia dengan penuh semangat tentang budaya Indonesia,” paparnya.
Perempuan berparas manis ini menjelaskan bahwa pariwisata yang berkaitan dengan budaya akan menjadi imersif ketika manusia mengambil peran utama dalam pelaksanaannya.
Maka community based tourism menjadi hal krusial yang sangat perlu diperhatikan. Manusia, dalam hal ini masyarakat yang menjalani budaya tersebut adalah enabler dari pariwisata budaya yang hanya sekedar tontonan, menjadi pengalaman imersif.
Dan, peningkatan kapabilitas, serta keterlibatan masyarakat dalam mengadaptasi budaya mereka untuk kebutuhan pariwisata sangat dibutuhkan dalam rangka penguatan atraksi pariwisata sebagai core dari aktivitas pariwisata berbasis budaya yang otentik dan tidak bisa ditemukan di negara lain.
Kemudian, lanjutnya, dampak bagi masyarakat yang tidak terlibat langsung dalam aktivitas pariwisata juga perlu diperhatikan untuk mencegah resistensi demi kenyamanan wisatawan secara keseluruhan.
Ni Luh Puspa menuturkan bahwa dalam upaya menjadikan pariwisata dan budaya Indonesia semakin diminati, “Kementerian Pariwisata menginisiasi upaya pengembangan produk usaha untuk memperkenalkan keunikan dan kekayaan budaya Indonesia melalui berbagai atraksi dan produk/jasa otentik, diversifikasi ini diharapkan dapat menjadi magnet bagi pasar yang lebih luas,” terangnya.
Kemenpar juga akan mengembangkan usaha dengan dukungan fasilitasi forum permodalan untuk membantu pelaku usaha pariwisata meningkatkan kualitas dan daya saing, memastikan mereka memiliki modal yang cukup untuk berinovasi dan beroperasi secara efisien sehingga meningkatkan kualitas layanan dan kepercayaan wisatawan.
Kemenpar akan menguatkan akses pasar dan rantai pasok untuk memastikan produk pariwisata dan budaya Indonesia mudah dijangkau dan dipasarkan secara luas kepada wisatawan Nusantara maupun mancanegara,” ungkapnya. (Gabriel Bobby)