PATADaily.id - Rumah adat Minahasa memiliki makna yang mendalam bagi masyarakat Minahasa. Model rumah adat Minahasa begitu yang bervariasi tergantung desa atau suku-suku, tidak hanya memiliki filosofi agung namun juga memiliki kearifan lokal.
Demikian diungkapkan Dr Paul Richard Renwarin, dosen Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng (STFSP) yang juga peneliti Budaya Minahasa dan Maluku, pada Webinar Program Membangun Desa yang diselenggarakan Ikatan Dosen Katolik Indonesia (IKDKI), Kawanua Katolik (Kawkat), dan Pemerintah Kota Tomohon Sulawesi Utara, Kamis (28/10/2021).
Webinar perdana yang merupakan rangkaian webinar series dalam program Dosen Membangun Desa ini, sejalan dengan konsep Desa Cerdas dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
Peserta dari seluruh Indonesia dan bahkan dari Belanda secara antusias mengikuti webinar tersebut dengan bertanya, menanggapi, juga berkomentar di zoom meeting maupun di live streaming youtube milik Kawanua Katolik.
“Bermula dari rumah yang menempel pada pohon, kemudian berubah menjadi rumah panjang, dan yang bertahan hingga kini adalah rumah adat Minahasa berbentuk panggung,” papar Dr Paul Richard Renwarin dalam siaran pers yang diterima patadaily.id, Jumat (29/10/2021).
Menurut Cardo—demikian Paul Richard akrab disapa-- hal tersebut tercatat dalam penelitian Dr WR Van Hoevell pada 1850 silam.
Dijelaskan bahwa rumah adat Minahasa berbentuk panggung terdiri dari dua jenis, yaitu berpilar batu (Wale Weiwangin) dan berpilar balok kayu (Wale Meito’tol). Jenis kedua inilah yang menjadi model rumah Minahasa yang diperjual-belikan di Desa Woloan.
Lebih lanjut Cardo menjelaskan mengenai From Nature to Culture.
“Memang benar bangunan ‘rumah’ itu bercorak material-fisik-benda mati. Tetapi di tangan manusia pembangun atau para tukang, yang alami-natural-mati ini diolah dan ditata (=cultivate) menjadi ‘hidup’, yaitu ‘rumah hidup’ (the living house). Dari mana diperoleh ‘filosofi’ rumah hidup ini ? Lewat perlakuan khusus para tukang, baik lewat tindakan, kata-kata ungkapan, doa, simbol-simbol dalam proses mem-’bangun’ atau men-diri-kan rumah,” jelas Cardo.
Bukan itu saja, Cardo pun menjelaskan pentingnya memahami alur pembangunan rumah: sejak batu pertama sampai penggunaan rumah tersebut untuk dihuni atau istilah orang Minahasa adalah acara naik rumah baru juga memiliki filosofi.
Pembicara lain, Prof Agustinus Purna Irawan, Ketua Umum IKDKI mengatakan bahwa di tengah arus modernisasi ini, kearifan lokal dan budaya nasional, perlu terus dilestarikan, dipelajari dan dikembangkan menjadi keunggulan nasional.
“Banyak filosofi yang terkandung di dalam budaya nasional, yang dapat menjadi penguat dan pemersatu bangsa,” tutur Prof Purna Irawan.
Dia menandaskan bahwa IKDKI sebagai organisasi para Dosen Katolik yang membawa nilai Mumpuni dan Melayani, akan terus berkontribusi dalam pengembangan budaya nasional dan kearifan lokal, melalui berbagai kegiatan akademik, penelitian, publikasi dan pengabdian kepada masyarakat berkolaborasi dengan berbagai institusi dan organisasi di masyarakat.
Adapun webinar series perdana ini digelar IKDKI, Kawkat dan Pemkot Tomohon Sulawesi Utara untuk menyatukan berbagai sudut pandang. Baik Pemkot Tomohon Ketua Umum IKDKI dan Kawkat sangat mengapresiasi program Dosen Membangun Desa ini.
Mereka pun berharap webinar series Program Dosen Membangun Desa yang bakal digelar hingga seri ke enam, akan menghasilkan terobosan baru ke depan untuk pengembangan Rumah Panggung Woloan dan memberikan dampak positif, ekonomi dan sosial budaya khususnya bagi masyarakat lokal. (Gabriel Bobby)