Cimahi, Sabtu, 9 November 2025
Oleh : Adharta
Ketua Umum KRIS
Gereja Santo Vinventius a Paulo menanti kita
Salah satu kebahagiaan terbesar dalam hidup saya adalah bertemu dan berbagi waktu dengan orang-orang yang telah lanjut usia.
Di wajah mereka, saya melihat ketenangan yang lahir dari pengalaman panjang; di tangan mereka, saya melihat kerja keras dan kasih yang menuntun generasi demi generasi.
Dalam diri mereka, tersimpan sejarah, kebijaksanaan, dan iman yang menjadi fondasi bagi kita semua.
Saya bergabung dengan Paguyuban Warga Usia Lanjut (WULAN) pada tahun 2000, saat usia saya baru 42 tahun.
Banyak yang heran, bahkan beberapa sahabat mengatakan bahwa saya terlalu muda untuk bergabung. Saya menjawab dengan canda bahwa batas usia resmi adalah 55 tahun jadi saya masih punya “tabungan umur” 13 tahun.
Namun Bapak JP Soetadi Martodihardjo, Bapak Hardja Lukita, dan Bapak Wisnu Lohanata tersenyum dan berkata,
“Adharta memang masih muda, tapi pemikirannya sudah melampaui banyak orang tua.”
Kata-kata mereka terasa sederhana, tapi justru menjadi bekal dan pengingat berharga.
Sejak saat itu, saya semakin yakin bahwa usia hanyalah angka, sementara kedewasaan sejati tumbuh dari hati yang mau belajar dan melayani.
Paguyuban WULAN bukan nama seorang wanita, melainkan singkatan dari Warga Usia Lanjut.
Sebuah paguyuban yang berpusat di Jalan Babakan Madang No 99, Sentul.
Tempat itu bukan sekadar markas besar, melainkan rumah kasih yang menampung banyak kenangan, tawa, doa, dan cerita kehidupan.
Di sana, setiap kerutan wajah menjadi tanda kesetiaan, dan setiap langkah yang perlahan menjadi irama syukur.
Perjumpaan di Cimahi
Sabtu siang yang segar di Cimahi membawa sukacita tersendiri.
Kami bertemu Papa Chandra Rahardja, sahabat kami yang baru saja berulang tahun ke-92 beberapa hari sebelumnya. Setiap kali bertemu dengan sahabat-sahabat tua, saya selalu memanggil mereka dengan sebutan Papa, Mama, Papi, atau Mami bukan sekadar panggilan hormat, tapi juga ungkapan kasih sayang.
Pertemuan kami hari itu diiringi lantunan musik organ dari Papa Chandra sendiri sambil bernyanui itu hobi beliau.
Ya, beliau menghadiahkan beberapa lagu, salah satunya “Baby Blue,” yang membuat kami semua ikut bergoyang kecil, menikmati semangat hidup yang tak pernah padam meski usia menua.
“Kalau hati tetap muda, tubuh pun akan mengikuti,” katanya sambil tertawa ringan.
Lagu “Baby Blue” ini rencananya akan kembali dilantunkan pada 26 November 2025 di Restoran Angke Heritage.
Saya yakin, banyak yang akan turun ke lantai dansa bukan untuk menunjukkan kelincahan, tetapi untuk merayakan persahabatan dan sukacita hidup yang dianugerahkan Tuhan.
Jumat dalam duka cita
Selamat Jalan, Mami Irene
Namun hidup tak hanya tentang pertemuan; ada pula perpisahan yang penuh air mata.
Jumat siang, pukul 13.00 waktu Singapura, Mami Irene, sahabat seiman dan sesama anggota aktif WULAN, berpulang ke rumah Bapa di surga.
Kami telah delapan kali bersama-sama memimpin WULAN Golf yang memperbutkan Piala Radius Prawiro.
Setiap kali bertemu, Mami Irene selalu membawa senyum lembut yang menenangkan.
Kami memiliki kedekatan batin yang istimewa.
Beberapa kali saya dirawat di rumah sakit di Singapura, dan di saat yang sama, beliau juga sedang menjaga suaminya, Bapak Rustam Effendi, yang kini telah lebih dahulu dipanggil Tuhan.
Dalam setiap pertemuan di rumah sakit, kami sering berbagi cerita tentang iman, tentang perjuangan, dan tentang pengharapan.
Mami Irene selalu berkata,
“Tuhan tidak pernah meninggalkan kita.
Dia hanya memindahkan kita dari satu rumah kasih ke rumah kasih yang kekal.”
Beliau juga punya kesukaan sederhana: makan Tori di Paragon lantai dasar dan buah Naga Kuning.
Kenangan kecil ini terasa begitu hangat di hati. Hari ini, saya hanya bisa berdoa:
“Selamat jalan, Mami Irene. Tuhan memelukmu berasma appi Rustam dalam damai abadi.
Doakan kami yang masih berziarah di dunia ini, agar tetap setia dan bersyukur dalam setiap langkah.”
Doa dan Restu untuk Gereja Kecil
Perjalanan ke Bandung kemarin membawa saya bertemu Bapak Prof Dr Purnomo Yusgiantoro, mantan Menteri Pertahanan dan Pertambangan. Pertemuan itu bukan hanya silaturahmi, tetapi juga langkah iman untuk memohon doa dan restu beliau dalam rangka penggalangan dana pembangunan Gereja kecil Santo Vincentius a Paulo di Gunung Putri.
Bagi saya, Bapak Purnomo bukan hanya seorang senior yang dihormati, tetapi juga sosok bijak yang menjadi panutan dalam banyak keputusan hidup.
Beliau berkata dengan nada lembut,
“Adharta, Gereja kecil itu mungkin sederhana secara fisik, tetapi akan menjadi besar karena kasih dan pelayanan di dalamnya.”
Kata-kata itu kembali menegaskan keyakinan saya: antara orang tua, hari tua, dan gereja terdapat hubungan yang sangat erat bagaikan tiga pilar yang menopang kehidupan rohani umat Katolik.
Antara Orang Tua, Hari Tua, dan Gereja
Mengapa saya melihat hubungan yang kuat di antara ketiganya?
Karena orang tua adalah saksi iman pertama dalam kehidupan setiap anak.
Dari merekalah kita belajar doa pertama, tanda salib pertama, dan arti kasih tanpa pamrih.
Hari tua, di sisi lain, adalah waktu Tuhan untuk menguji seberapa dalam iman itu tertanam bukan dengan tenaga atau keberhasilan, melainkan dengan kesetiaan dan damai hati.
Dan Gereja adalah rumah rohani yang menampung keduanya tempat orang tua disapa, dirangkul, dan dikuatkan dalam cinta Kristus.
Kitab Suci mengajarkan
“Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan Tuhan, Allahmu.”
(Keluaran 20:12)
Ayat ini bukan hanya perintah moral, tapi janji kehidupan. Menghormati orang tua berarti menghormati asal mula kasih Allah sendiri. Dalam setiap misa, ketika umat lanjut usia hadir dengan langkah perlahan, saya melihat kemuliaan yang tak tergantikan. Mereka datang bukan karena kuat, tapi karena cinta.
Yesus sendiri memberi teladan luar biasa.
Saat tergantung di salib, dalam penderitaan paling dalam, Ia masih berkata kepada Maria dan Yohanes:
“Ibu, inilah anakmu... dan kepada Yohanes
inilah ibumu.”
(Yohanes 19:26–27)
Kalimat itu sederhana, namun sarat makna: kasih dan tanggung jawab antar generasi tidak boleh putus.
Doa untuk Hari Tua
Dalam setiap doa malam saya, saya sering mengucap syukur untuk setiap Papa, Mama, Papi, dan Mami yang telah saya temui.
Saya tahu, hari tua bukan masa lemah, tetapi masa pemurnian iman.
Di usia lanjut, orang belajar untuk lebih sabar, lebih mengampuni, dan lebih pasrah kepada rencana Tuhan.
Saya mau berdoa:
Tuhan, ajarilah kami untuk menghargai setiap helai uban,
karena di dalamnya tersimpan cerita perjuangan dan pengorbanan.
Berikanlah kepada mereka kesehatan dan damai hati,
agar hari-hari mereka menjadi pujian bagi nama-Mu.
Jadikanlah kami anak-anak yang setia menghormati mereka,
seperti Engkau menghormati Bapa di surga.
Kasih yang Tak Pernah Menua
Di hadapan Tuhan, usia tidak pernah menjadi batas. Gereja mengajarkan bahwa setiap masa hidup muda, dewasa, maupun lanjut usia adalah kesempatan untuk melayani dan mengasihi.
Orang tua menjadi cermin kasih Allah yang sabar dan penuh belas kasih.
Saya percaya, ketika seseorang menua dengan hati yang penuh syukur, ia sedang bersiap memasuki keabadian dengan damai.
Gereja menjadi tempat di mana kasih itu dipelihara, dan komunitas seperti WULAN menjadi ladang kecil tempat kita menabur sukacita bagi sesama.
“Maka meskipun manusia lahiriah kami semakin merosot, namun manusia batiniah kami dibaharui dari sehari ke sehari.”
(2 Korintus 4:16)
Ayat ini memberi pengharapan: bahwa hari tua bukan akhir, melainkan awal dari pembaruan rohani yang sejati.
Cintaku di sana
Hari ini di Cimahi, saya duduk merenung sambil menatap langit sore.
Saya teringat wajah Papa Chandra Rahardja yang masih semangat bermain organ di usia 92 tahun, Mami Irene yang kini bernyanyi di surga, dan Bapak Purnomo yang dengan bijak menuntun saya untuk terus melayani Tuhan.
Saya tersenyum, karena saya tahu
hidup adalah perjalanan menuju kasih yang sempurna.
Antara orang tua, hari tua, dan gereja, tersimpan satu rahasia besar yaitu cinta yang tidak menua.
“Tetapi orang-orang yang menanti-nantikan Tuhan mendapat kekuatan baru
mereka seumpama
Rajawali yang naik terbang dengan kekuatan sayapnya; mereka berlari dan tidak menjadi lesu, mereka berjalan dan tidak menjadi lelah.”
(Yesaya 40:31)
Semoga Tuhan memberkati setiap langkah kita, meneguhkan para orang tua, menghibur yang berduka, dan membakar semangat kita untuk terus melayani dalam kasih Kristus.
Saya mengajak anda khususnya para lansia
Mari bernyanyi bersama memuji Tuhan
Memberi kekuatan bagi gereja kecil
Santo Vincentius a Paulo untuk segera memiliki gereja baru
Dan di sanalah kita bersama berjuang
Anda adalah Pahlawanku para Orang Tuaku
Kata Mama Lusia Soetanto yang selalu mendampingi aku
Adharta
www.kris.or.id
www.adharta.com
Rekening
BCA
167 208 7672
Atas nama
PGPM Paroki Santo Vincentius a Paulo Gunung Putri

.jpg)
.jpg)