TRAVEL

Jejak Digital Halimah Munawir

post-img

PATADaily.id - Jakarta - Meja kerja Halimah Munawir kini dipenuhi kamera, mikrofon, dan headset layaknya seorang YouTuber. Senyum pemilik Rumah Budaya HMA ini mengembang ketika diajak membahas rencana ke depan terkait dunia baru yang akan dicobanya.

"Mulai Mei ini saya mau bikin podcast," ucapnya kepada patadaily.id, Rabu (8/5/2024). Adapun Halimah yang juga dikenal sebagai pegiat seni di Tanah Air ini semakin semangat mengungkap alasannya menggarap podcast ketika ditemui di kantornya di kawasan Jakarta Timur,

Ya, keinginan Halimah membuat podcast tidak mengejutkan orang-orang terdekat yang mengenal kiprahnya. Seperti diketahui, Halimah sudah aktif di berbagai komunitas, bahkan sejak remaja. Bermain teater, menjadi penyiar radio, hingga jurnalis di sejumlah media massa yang semuanya dilakukan pada saat masih menempuh studi baik di SMA maupun saat kuliah.

"Sejak remaja saya senang beraktivitas, dan yang terpenting saya tidak mau mengandalkan (materi) orang tua," ujar Halimah menerawang mengingat masa lalu ketika baca puisi. Ia menjelaskan bahwa dirinya sudah sejak lama, yakni mulai SMP aktif di kegiatan sastra dan seni.

Ditemani segelas kopi hitam, obrolan pun mengalir jauh. Begitu banyak cerita menarik mengenai siapa Halimah Munawir. Tentang proses kreativitas, kecintaannya pada budaya dan seni tradisi, hingga topik-topiik kekinian.

Kendati demikian, Halimah mengaku tidak tertarik terjun ke dunia politik. "Saya tidak ingin terjun ke politik," ujarnya dengan intonasi lebih serius. Ia pun terkenang saat memainkan teater dengan sutradara Didi Petet. "SMA saya sudah gabung dengan teater sekolah asuhan alm Didi Petet. Teater Bela Radio ARH, TIM," terangnya. 

Halimah pun masih ingat ketika dirinya tegabung dalam kelompok vokal grup. "Saya juga aktif membaca puisi dan mengisi majalah dinding sekolah," tuturnya. Halimah juga dikenal concern memberikan perhatian yang besar terhadap sektor pariwisata dan budaya Nusantara, ia juga diketahui ada di IWAPI (Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia). Ya, Halimah juga seorang pengusaha sehingga tak salah dirinya bisa memberikan inspirasi bagi banyak orang di Indonesia.

Halimah diketahui aktif berkecimpung dalam IWAPI DKI Jakarta. Bahkan, tak hanya sekadar menjadi pengusaha, dirinya juga dikenal terlibat nyata dalam dunia sastra di Tanah Air. Begitu banyak aktivitas membuat Halimah tampaknya bisa memberikan perubahan yang menyegarkan bagi lingkungan sekitar yang menunjang sektor ekonomi.

Ia juga terkesan begitu low profile lantaran mau berbagi dengan sesama yang membutuhkan. Menariknya sosok satu ini juga mengakui bahwa masih banyak peluang dan potensi bagi perempuan Indonesia untuk terjun dalam bisnis di Tanah Air.

Berikut rangkuman percakapan dengan penulis novel The Sinden (Gramedia, 2011), Sucinya Cinta Sungai Gangga (Gramedia, 2013), Sahabat Langit (Gramedia, 2013), dan Kidung Volendam (Gramedia, 2017), serta Padmi (Balai Pustaka, 2023), di kantornya di bilangan Kampung Melayu, Jakarta Timur.

Selain novel, selama ini Anda juga menerbitkan puisi-buku kumpulan puisi. Sementara Anda juga sibuk di dunia usaha dan beragam komunitas. Kapan waktu menulis?

Halimah mengaku sejak remaja sudah terbiasa mengisi waktu dengan kesibukan. "Saya tidur lebih cepat, dan bangun pukul 03.00 menjelang dinihari. Saat itulah saya menulis sampai Subuh. Kebiasaan itu terus berlanjut setelah saya menikah dan mempunyai anak. Setelah sholat Subuh, saya lanjutkan dengan memasak karena saya punya prinsip, anak keluar rumah harus sudah kenyang, sehingga tidak jajan sembarang.
Buku-buku yang terbit antara tahun 2011 sampai sekarang, umumnya sudah saya bikin sejak lama. Sejak SMA, kuliah dan kerja sebagai jurnalis. Tulisan-tulisan itu saya simpan. Untuk menghindari ada yang mengambil, atau menjiplak, saya menuliskan dengan huruf terbalik. Misalnya A saya tulis Z.
Sebenarnya sudah banyak juga karya saya yang dipublikasi sebelum tahun 2011. Tetapi saat itu saya menggunakan nama samaran, seperti Cempaka HL. Suami saya kemudian menasehati agar menggunakan nama asli agar orang lain tahu itu karya saya. Akhirnya saya pakai nama saya sendiri ditambah nama suami, jadinya Halimah Munawir.

Bagaimana proses terbitnya novel-novel itu?
Jujur saya tadinya kurang percaya diri dengan tulisan saya. Tetapi setelah dibaca beberapa teman, yang paham tentang sastra, mereka mendorong agar dikirim ke penerbit karena katanya bagus. (Catatan redaksi: Dalam endorsment novel Padmi, Calon Permaisuri yang Terbuang, Taufiq ismail menulis, "Apresiasi saya untuk novel Padmi, Calon Permaisuri yang Terbuang. Tenunan cerita yang disajikan oleh pengarang menyatukan berbagai bahan menarik hingga menciptakan karya apik - suatu sastra yang mengetengahkan wasta. Semoga novel ini memberi kontribusi terhadap karya sastra bangsa kita. Aamiin).

Mengapa Anda memilih tema-tema budaya tradisi?
Saya melihat seni tradisi kita sangat adiluhung. Banyak yang diciptakan oleh raja, dan juga Wali Songo.
Artinya bukan karya sembarang. Sehingga harus dijaga dan dilestarikan. Meski ada perkembangan yang berdampak pada kostum penarinya, misalnya yang dulu terbuka kini harus tertutup, saya kira tidak mengubah esensi dan estetikanya.
Banyak seni tradisi yang juga menyimpan sisi "negatif". Apakah Anda juga menulisnya?'
Tidak ada seni yang diciptakan untuk tujuan negatif. Bahwa dalam prakteknya terjadi "penyimpangan" seperti dalam kasus sinden yang menjadi bahan observasi saya ketika menulis The Sinden, di mana ada yang harus "melayani" dalangnya agar bisa nyinden, menurut saya tidak harus dijadikan bahan utama. Cukup disinggung sedikit, bahwa kita sebagai penulis, tahu kok ada penyimpangan itu. Tetapi yang lebih penting adalah menjaga nilai-nilainya yang luhur dan dicitakan dengan tujuan baik. Untuk apa memfokuskan pada sisi negatifnya sehingga membuat kesenian yang diciptakan dengan tujuan baik malah jadi bahan hujatan.

Bukankah upaya pelestarian budaya menjadi tanggung jawab pemerintah? Mengapa Anda terlibat aktif ikut mengurusi sampai mendirikan Komunitas Obor Sastra?
Upaya pelestarian bisa dilakukan siapa saja. Bahkan di kampung-kampung, mereka dengan sukarela, tanpa bantuan pemerintah tetap berusaha melestarikan budaya nenek-moyang. Saya ingin menjadi bagian di dalamnya. Meski memang seharusya pemerintah lebih memiliki perhatian. Bukan hanya soal anggaran, tapi bagaimana bantuan yang dikucurkan tepat saran. Tidak dia lagi, dia lagi.

Bagaimana kabar Rumah Budaya HMA?
Alhamdulillah mash eksis dan terus eksis. Namun belum sesai harapan. Dulu sering dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar untuk aktivitas kebudayaan, tapi sekarang sudah jarang. Karena dulunya, rumah itu saya niatkan sebagai basecamp untuk anak-anak korban trafficking, istilahnya kawin kontrak, di Puncak. Saat itu, saya dengan beberapa teman aktivis, melakukan penelitian terkait maraknya kawin kontrak. Bahkan sudah menjadi fenomena. Anak-anak gadis yang mash di bawah umum, dipaksa kawin kontrak dengan orang luar. Orang Arab, meski tidak semuanya benar-benar berasal dari Arab.
Pandangan umum masyarakat kita, termasuk pejabat, juga terbelah dalam menyikapi fenomena itu. Bahkan ada yang menyebut sebagai upaya perbaikan keturunan. Ini benar-benar keterlaluan. Karena yang terjadi adalah eksploitasi terhadap perempuan-perempuan rentan, dari kalangan miskin. Artinya itu bukan pilihan atas kesadaran sendiri.
Melalui Rumah Budaya saya berusaha mencegah terjadinya kawin kontrak yang membuat saya miris dengan memberi ruang seni dan budaya bagi masyarakat di sekitar Puncak. Saya tidak menutup mata ada juga yang perkawinannya, yang tadinya dilakukan secara kontrak, kemudian menjadi langgeng. Laki-lakinya tetap bertanggung jawab meski sudah kembali ke negara asal. Mash mau memberi nafkah, bahkan mereka tetap bertemu pada waktu-waktu tertentu. Tetapi itu tidak dapat dijadikan alasan untuk membenarkan praktek kawin kontrak. Terlebih jika di dalamnya ada unsur keterpaksaan dari pihak perempuan. Misalnya terpaksa melakukan karena tekanan keluarga yang terlilit utang, atau menjadi korban penipuan. (Gabriel Bobby)

Artikel Lainnya